Di lembut dingin fajar musim semi hari ini, aku dibangunkan
oleh sesuatu yang tidak biasanya. Serupa melihat oase dalam fatamorgana, namun
kali ini berwujud.
“Hai, sudah bangun kah kamu?” sesuatu yg mebangunkanku di
fajar hari ini tampak menyapaku, aku masih diam. Malu-malu mungkin, atau masih
tak menyangka bahwa aku juga akan mendapat giliran untuk merasakannya.
“Mengapa kamu diam?” suaranya kali ini menggelitik nafsuku
untuk menyahutnya, walau tetap ada ragu dalam tiap kataku.
“Kamu siapa?” tanyaku malu-malu, walau ku yakini dalam hati
ku sendiri, sepertinya aku mengetahui ia siapa.
“Seharusnya kamu mengetahui siapa aku.” lembut suaranya semakin meyakini ku bahwa
sepertinya aku memang mengetahui siapa yang menjadi alasanku terbangun tidak
seperti biasanya pada fajar hari ini. Dalam diam batinku berkata “Ah.. Akhirnya
aku mendapat takdir itu.”
“Aku memang mengetahuimu sepertinya, tapi tidakkah sulit
bagimu untuk menjawab pertanyaanku, sekadar memastikan bahwa dugaanku adalah
benar.” sahutku penuh yakin menjawab perkataannya. Walau sedikit gugup
bercampur ragu dalam tiap kataku tadi, ah sepertinya ia tidak mengetahuinya,
jadi tak perlu terlalu risau aku pikirkan.
“Baiklah. Untuk sekadar memastikanmu, aku ini embun. Dan
harusnya kamu tak perlu ragu pada pikiranmu.” suara yang ternyata benar, milik
embun itu meyakiniku. Batinku makin keras bersorak. “Akhirnya..”
“Jika memang benar itu dirimu, boleh beritahu aku apa alasan
hadirmu disini?” ku ucapakan juga akhirnya pertanyaan ku yang selama ini
tertanam di dalam batinku.
“Mengapa kamu tanyakan itu? Bukannya memang sudah menjadi
takdirnya bahwa kelak aku akan menemuimu?” pernyataan embun memang benar
adanya, namun bukankah dibalik takdir selalu ada alasan yang mendasarinya?
Batinku masih tetap tak cukup puas dengan jawaban sebuah, takdir.
“Ya, memang. Karena takdir kamu disini bersamaku, namun,
bukan kah Tuhan pasti memiliki alasan mengapa Ia mengirimmu kesisiku? Bukan kah
pula kamu juga pasti memiliki alasan mengapa kamu ada disini?” tanpa ragu aku
masih menanyakan pertanyaan yang sama atas setiap rasa penasaranku yang selama
ini aku simpan sendiri.
“Baiklah kalau memang kamu masih menaruh tanya, aku tidak
mengetahui apa alasan Tuhan mengirimku kesisimu saat ini, namun satu hal yang
aku tau, aku disisimu untuk memenuhi takdirku. Membasuh daun dalam tiap fajar
dengan sejukku, menjadikan diriku sebagai oase yang dibutuhkan daun atas hari panjang
yang ia lewati kemarin dan yang akan ia lalui hari ini.”
Aku terdiam, batinku masih terus memiliki tanya. Apa semudah
itu takdir menemukan jalan?
“Semudah itukah takdir menemui kita, mempersatukanmu padaku?”
tanyaku lagi pada sang embun.
“Kamu ingat janji Tuhan pada setiap makhluknya? Bahwa telah
disiapkannya pasangan bagi setiap insan?” Jawabannya kali ini cukup mampu
meyakinkanku bahwa takdir itu ternyata memang ada.
“Terimakasih.. Aku tau akan hal itu. Hanya saja, aku masih
belum mengerti mengapa takdir begitu mudah menyatukan kita.” Sahutku menutup
semua pertanyaan ku padanya, pertanyaan yang ada dalam benakku selama ini.
Fajar semakin membuka tabirnya. Langit yang tadi diselimuti
gulita malam, perlahan bersinar seiring sinar mentari menyeruak di tiap inci
langit. Ah.. Aku selalu suka pagi, aku selalu suka hari yang baru.
“Daun.. Sepertinya aku harus segera pergi.” Itu suara embun.
Apa maksudnya berkata demikian? Baru saja dia mengajarkanku tentang takdir,
apapula ini maksudnya ia berkata bahwa ia akan pergi.
“Apa maksudmu?” Akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya
hal ini padanya.
“Aku harus segera pergi, mentari akan segera menjemputku
apabila sinarnya sudah memenuhi langit.” Pernyataan embun masih tak mampu aku
cerna sepenuhnya. Bukannya ia yang menjelaskan bahwa hadirnya ia disisiku ini
karena ia telah memenuhi takdirnya. Lalu, untuk apa ia pergi?
“Lantas, bagaimana tentang hal yang tadi kamu sebut takdir?”
cecar ku masih tak mengerti apa maksud dari perkataannya.
“Benar. Aku hadir disini memenuhi takdirku. Namun satu hal
yang harus kamu tau, tak selamanya aku ada disini. Aku harus pergi, namun jika
fajar menjelang, aku akan kembali ke sisimu.” Ah, aku masih tidak mengerti apa
maksud embun berkata demikian. Namun sekarang aku tau, takdir untuk memilikinya
yang aku punya bukan lah selamanya. Entah apa rencana Tuhan. Aku pun tak yakin
dia akan kembali lagi. Namun satu hal yang aku tau pasti, aku akan selalu
menantinya.
“Baiklah jika menurutmu begitu, pergilah. Akan aku tunggu
dirimu jika fajar kembali tiba.” Hanya kalimat itu yang mampu aku katakan
sembari mengantarkan kepergiannya.
Malam kembali tiba, namun, malam kali ini tak akan aku lalui
dengan terlelap. Aku akan menanti hingga fajar tiba. Menanti embun yang akan
segera membasuh ku bersama rindu dan tanyaku.
Fajar yang aku tunggu kembali tiba, namun satu hal yang paling aku nanti tak kunjung ada. “Akankah..?” Batinku semakin bertanya. Memenuhi setiap relung hati ku dengan serbuan pertanyaan, akan sampai kapan aku harus menanti.
Ribuan fajar aku lewati, namun yang aku nanti tak pernah
hadir. Kini, sudah di awal musim gugur. Aku harus segera pergi, memenuhi
takdirku yang lain. Satu hal yang aku lupa beritahu pada sang embun, bahwa aku
akan segera gugur ketika musim ini tiba.
Perlahan tapi pasti, aku harus segera beranjak dari tempat
ini, mengikuti hembusan angin yang akan membawa ku pergi ke tempat yang lain.
Dalam hembusan angin yang mengantarkanku ke tempat baruku, aku titip pesan,
sampaikan maafku pada sang embun, bahwa aku tak mampu memenuhi janjiku untuk
selalu menantinya, dan sampaikan pada ia, ketika ia tiba nanti, maaf aku tak
lagi ada di tempat pertama kali kita bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar