![]() |
foto: google |
Jika melalui luka dan kesakitan aku mampu menjadi tegar, harus berapa banyak lagi air mata yang tumpah membasahi pipi?
Kepada waktu yang terus bergulir tanpa memberikan jeda untuk beristirahat, kecewaku pernah dilahirkan. Ber-ibu harap yang ternyata terlalu tinggi, serta ber-ayah kenyataan yang hanya membawa perih; aku menemukan siapa aku, seseorang yang bahkan tak akan dicari kepergiannya.
Nyatanya luka memberikanku dunia yang baru, bahwa tak akan lagi ada semburat jingga yang hinggap di pipi, atau kilatan manja yang bergemuruh di kedua mata.
Duniaku kelabu. Luka-luka itu menumpahkan tinta warna-warniku, lalu menggantikannya dengan dua warna yang baru--hitam dan putih-- serta mencampurkan keduanya menjadi satu.
Jalan setapakku runtuh, berganti menjadi kerikil tajam yang tanpa ampun akan menusuk tapak kakiku setiap kali aku melangkah. Kini bukan hanya waktu yang menjadi musuhku, harapan-harapan yang aku miliki menjadi hal pertama yang selalu ingin kubunuh.
Aku tahu ini akan berakhir, entah kapan...
Kebahagiaanku menanti untuk ku reguk. Aku pantas bahagia..
Itu yang mereka katakan. Lantas, kebahagiaan yang seperti apa?
Jika mereka berani bertaruh, bisa kah mereka menunjuk bentuk kebahagiaan yang seharusnya menghampiriku?
Dihujani berkali luka, serta dihantam rentetan kecewa, tak lantas membuatku lupa bagaimana rasa sakitnya. Aku tidak lupa, aku hanya mencoba terbiasa. Lalu, itu kah yang disebut bahagia?
Ketika waktu yang kita punya mulai menyembuhkan luka yang pernah singgah, justru kini menghimpun luka-luka baru. Seperti itu kah bentuk bahagia?
Jangan sebut itu bahagia, bahkan jika obat yang kuminum nyatanya menjadi racun secara bersamaan. Memberi tawa, serta memberi luka yang datang berkali-kali.
Jangan sebut itu bahagia, jika seluruh waktu yang ada, tersita hanya untuk memikirkan seseorang yang bahkan tak berniat sedikitpun menganggapmu berarti untuk sedikit saja singgah di pikirannya.
Jangan sebut itu bahagia, jika cinta yang kini hinggap di dada, justru tertuju pada seseorang yang tak lagi memiliki cinta--atau malah masih tertinggal di jalan setapak yang dulu pernah ia pijak.
Jangan sebut itu bhagia, jika jutaan kali kamu berusaha menjaganya untuk tetap baik-baik saja, justru perlahan menghancurkan benteng pertahananmu.
Sekali lagi, jangan sebut itu bahagia.
Banyak orang menghindari cinta, memandangnya sebelah mata, hanya karena takut terjebak pada cerita roman picisan dangkal, katanya. Mereka luput satu hal, bahwa jika waktunya tiba, sejauh apapun menghindar, takdir akan tetap membawanya mendekat.
Beberapanya masih cukup tahu diri untuk tidak berharap suatu apapun hal, selain menghimpun kebahagiaan baru, bukan untuknya, melainkan seseorang yang menjadikan alasan untuknya tertawa--sekaligus menangis.
Beberapanya masih memiliki kesadaran diri, bahwa hadirnya hanya pengisi waktu luang, pengisi ruang kosong yang akhir-akhir ini ada tercipta tanpa penghuni.
Serta beberapanya masih mampu berpijak di bumi, sebelum di lambungkan harapan-harapan semu. Bahwa hadirnya tak cukup berarti apa-apa untuk menghadirkan cinta.
Itu bukan cinta, jika risaumu hadir kala menanti wartanya membuka mata.
Itu bukan cinta, jika amarahmu hadir saat melihatnya menatap arah yang lain.
Itu bukan cinta, saat gundahmu perlahan pergi kala hadirnya tiba menghampiri sisi.
Itu bukan cinta.. Lalu apa? Entah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar