Kakinya masih saja
digoyang-goyangkan ke depan dan ke belakang. Lapangan basket, taman, dan
beberapa helai daun yang mulai berserakan akibat datangnya musim kemarau tahun
ini, menjadi satu-satunya saksi atas kegelisahan yang dirasakan gadis manis
itu. Beberapa bulir keringat yang membasahi keningnya tanda kegelisahannya pun
konsisten deras menurun. Sembari menggenggam secarik kertas yang terlihat lusuh
tanda dimakan waktu, atau mungkin karena terlalu sering dibaca pemiliknya,
gadis itu sesekali melihat jam yang terpajang cantik dipergelangan tangan
kirinya.
~~
“Ilaaaaaa!!!”
teriak seorang ibu muda yang lari tergopoh-gopoh menghampiri gadis mungilnya
yang terlihat nangis tersedu-sedu akibat darah segar yang mengalir dari lutut
kirinya.
“Ini
kakinya kenapa?” tanya ibu itu panik.
“Jatoh
mah.. Hu.. hu.. hu..” jawab gadis mungil yang ternyata bernama Aquilla itu
sembari terisak.
“Emangnya
tadi Ila abis ngapain kok bisa jatuh?”
“Tadi
Ila mau mainan ayunan, tapi Aldonya gak mau gantian. Ila mau ngerebut ayunannya,
tapi gak bisa, malah jatoh.” jawab gadis kecil itu sambil menatap sinis bocah
laki-laki yang sedang asik berayun di taman cluster perumahannya. Bocah yang
ditatapnya pun hanya tertawa senang atas rasa kemenangan kecil yang didapatkannya.
“Yasudah,
lain kali Ila bisa minta baik-baik tanpa harus berebut kan? Sekarang akibatnya
malah kaki Ila kan yang luka. Yuk pulang aja, biar mamah obatin di rumah
lukanya.” ucap ibu muda itu seraya menggandeng tangan putrinya itu.
~~
“La,
nanti proposalnya lo aja ya yang ngasih ke Aldo. Gue udah dijemput nih.” ucap
gadis yang berkuncir kuda itu.
“Loh,
kok gue sih yang ngasih, kan itu tugas elo Rin. Ogah ah. Males gue kalo harus
ngomong berdua sama dia, lo kaya gak tau gue aja sih.” Jawab gadis berambut
panjang hitam dengan poni pagar menghiasi.
“Lo
gak boleh gitu dong La, mau gimana gak akurnya lo sama Aldo juga kan lo tetep
harus profesional. Sekarang kan posisinya lo itu wakil nya dia, gue juga gak
salah kalo nyerahin proposal ini ke lo.” Timpal gadis yang ternyata bernama
Khairina itu.
“Gak
mau ah. Lo tau kan Aldo kalo lagi main basket itu lama. Lagian lo mau kemana
sih?”
“Profesional
dong La. Gimana OSIS kita mau maju kalo kepentingan ketua sama wakilnya aja
masih suka dibawa-bawa ke forum. Lagian lo juga biasanya pulangnya kalo
sekolahan udah sepi. Gue mau nganterin bokap gue ke bandara. Bokap gue mau ke
Hongkong buat 3 bulan ini. Masa gue gak ikut nganter. Udah ya, supir gue udah
nungguin di depan. Gue balik ya La. Titip proposal, oke? Bye!” pamit gadis yang
dipanggil Irin itu menyudahi perdebatan yang terjadi diantara dirinya dan Aquilla
di ruang OSIS siang itu.
Yang
ditinggal pergi pun hanya mampu bersungut-sungut dan menghempaskan tubuhnya ke
kursi tempat ia bekerja menjabat sebagai wakil ketua OSIS di sekolahnya.
Tumpukan tebal kertas yang biasa ia bawa kemana-mana yang kadang berfungsi
menghilangkan penatnya pun, tak cukup efektif untuk mengusir kegusarannya sore
itu,
puisi-puisi yang biasa ia buat tak cukup mampu mengusir emosinya. Padahal
ia hanya diamanatkan untuk menyerahkan sebuah proposal acara Pentas Seni yang
akan diadakan untuk acara perpisahan di sekolahnya nanti kepada ketua OSIS nya
sendiri, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aldo, seseorang yang juga
menjabat sebagai ketua tim basket putra sekolahnya, dan notabene yang telah menjadi
musuhnya sejak dulu. Entah apa alasan yang tepat yang mengakibatkan keduanya
bermusuhan, atau yang lebih tepatnya hanya Aquilla seorang diri yang menaruh
benci pada Aldo. Ia pun kadang tak mampu untuk memiliki cukup alasan ketika
ditanya mengapa dirinya begitu membenci pria kebanggaan sekolahannya itu.
Namun, tiap mendengar seseorang menyebut nama pria itu, atau bertemu dengan
pria itu, ingatannya tenggelam ke masa 12 tahun yang lalu. Ketika seorang gadis
mungil berusia 5 tahun tengah berusaha merebut ayunan yang sedang digunakan
bocah laki-laki yang bernama Aldo itu. Entah apalagi selain kejadian antara
mereka berdua dimasa lalu yang menjadi sebab kebenciannya kepada Aldo.
Membuatnya harus memikirkan kejadian itu justru tambah merusak mood gadis itu. Sekarang, yang ia
lakukan hanya membaca novel teenlit yang baru saja dibelinya weekend lalu.
Kadang, apabila hobi menulisnya tak cukup mampu untuk mengusir penatnya, ia
hanya menghabiskan waktunya untuk membaca novel sampai tak terasa penatnya hilang
dengan sendirinya.
Cukup lama
Aquilla menghabiskan waktu nya membaca novel hanya untuk menunggu sang ketua
OSIS, sampai tak ia sadari, ia tengah ketiduran dengan novel yang masih berada
digenggamannya. Hari itu sudah cukup sore, sampai yang dinantinya pun akhirnya
datang setelah cukup lama menghabiskan hobinya di lapangan basket. Mengetahui
bahwa dirinya sedang dinanti oleh gadis manis itu, ia hanya mampu menunggu
sembari sedikit berusaha membangunkan gadis manis yang sedang tertidur pulas
itu. Nampak raut letih dari wajahnya sekalipun ia tengah tertidur, sehingga
membuat pria itu tak cukup tega untuk membangunkannya, dan ia pilih untuk
menunggu hingga gadis itu terbangun dengan sendirinya. Cukup lama hingga
akhirnya gadis itu terjaga.
“Lo dari kapan disini?” tanya Aquilla dengan tatapan tak bersahabat.
“Lo dari kapan disini?” tanya Aquilla dengan tatapan tak bersahabat.
“Udah
bangun La?” yang ditanya justru malah balik mengajukan pertanyaan.
“Heh gue
nanya, lo dari kapan disini? Kok malah lo yang balik nanya sih.”
“Udah
lumayan lama buat nungguin lo bangun doang.”
“Kok lo gak
ngebangunin gue? Jangan-jangan lo macem-macem sama gue ya waktu gue tidur,
ngaku lo!”
“Abis main
basket tadi gue langsung kesini, pas gue kesini gue ngeliat lo udah tidur, gue
udah coba bangunin, tapi kayanya lo capek banget sampe susah dibangunin. Yaudah
gue biarin aja sampe lo bangun sendiri. Udah untung gak gue tinggal balik.”
“Oh..
Yaudah. Awas lo kalo berani macem-macem sama gue! Yaudah nih, gue cuma mau
ngasih titipannya Irin buat elo. Gue balik deh. Bye!”
“Eh, tunggu..
Apaan emang ini?”
“Lo gak
bisa baca emang? Itu kan ada tulisannya disitu. PROPOSAL. Udah ah gue balik.
Udah sore juga. Bye!” Ucap ketus Aquilla mengakhiri percakapan tak mengenakan
di ruang OSIS sore itu. Yang ditinggal pergi pun hanya mampu tersenyum dan
menggeleng-geleng serta membathin, “Masih aja ketus sama gue dari dulu, Ila
Ila.. Gak sadar kali ya kalo gak ketus dia jauh keliatan manis.. Ckckck..”
Sementara
itu, gadis yang tengah terburu-buru meninggalkan ruangan OSIS itu hanya mampu berkonsentrasi
pada tujuan berikutnya, gerbang sekolahnya. Karena, kalau sudah sore begini,
angkutan umum kearah rumahnya mulai jarang, justru hampir tidak ada. Dengan
penuh gerutu, Aquilla hanya mampu pasrah menatap jalan raya yang mulai terlihat
agak sepi itu karena hari pun sudah mulai memasuki petang, ditambah dengan
cuaca yang tambah gelap karena awan mendung menyelimuti. Tampak raut wajahnya
yang semakin khawatir karena dia hampir sempenuhnya yakin, kemungkinannya
sangat kecil untuk menemukan angkutan umum yang memiliki rute ke arah rumahnya
masih beroperasi jam segini. Dengan terpaksa, ia mulai melangkahkan kakinya
menuju rumahnya daripada hari mulai larut. Rumahnya memang tidak terlalu jauh
dari sekolahnya, namun kalau dipakai dengan jalan kaki, sangat cukup membuat
kaki penggunanya pegal-pegal hingga keesokan harinya.
“Sial kan!
Kalo bukan gara-gara Aldo, harusnya gue gak jalan kaki gini. Segala mendung
lagi ini langit. Kurang sial apalagi sih gue hari ini. Semuanya gara-gara Aldo!”
Aquilla hanya mampu bersungut-sungut atas peristiwa yang agak kurang mengenakan
sore itu. Padahal salahnya juga yang sempat-sempatnya tertidur pulas di ruang
OSIS tadi. Tidak lama kemudian, seseorang yang sedang dimakinya tadi ternyata
perlahan menepikan motor yang dibawanya mendekati gadis berponi pagar itu.
“La.. Kok
lo jalan kaki?” tanya laki-laki itu seraya memelankan motor yang dibawanya.
“Mau
ngapain lo nanya-nanya? Halah bilang aja mau ngejek gue kan.. Udah sana..
Pulang aja deh lo. Males gue ngeliat lo. Lagian urusan kita di ruang OSIS juga
udah selesai kan.” Gadis yang ditanyai itu justru malah mengomel ketika
ditanyai.
“Gue nanya
kan baik-baik La, gak ada niat ngejek elo kok. Lo nya aja yang nanggepin gue
negatif mulu.”
“Gue pulang
jalan kaki gini juga gara-gara elo. Gara-gara nungguin lo kelar main basket.
Gara-gara kesorean, sekarang keabisan angkutan kan gue. Wajar lah kalo gue
negatif sama lo.”
“Yaudah
balik sama gue aja sini, udah mendung juga kan, nanti lo kemaleman lagi. Lagian
rumah kita kan deketan.”
“Gak usah
sok baik deh lo, gak perlu lagian. Gue bisa jalan sendiri.” saut Aquilla
angkuh.
“Yakin?
Bener nih bisa sendiri? Gapapa gue tinggal? Udah mau maghrib loh, mendung
juga..” timpal Aldo agak sedikit menggodanya.
“Brisik lo!
Udah pergi aja sono.. Hush hush..” usir Aquilla dengan ketusnya.
Yang diusir
pun hanya mampu pergi meninggalkan Aquilla sembari menahan tawa melihat sikap
ketus Aquilla yang dipandangnya justru lucu.
“Yaudah,
gue balik deh.. Lo hati-hati ya La.. Bye Ilaa..”
Gadis yang
ditinggal pergi pun hanya mampu bersungut-sungut kecil karena menganggap niat
Aldo hanya sekedar untuk mengejeknya. Karena menurutnya, kalau Aldo memang
berniat mengajaknya, seharusnya dia tetap berada disini sekarang. Padahal
kepergian Aldo untuk meninggalkannya pun dia yang meminta. Rasa kesalnya
semakin bertambah ketika dia sadari beberapa tetes air hujan mulai turun
membasahi rambutnya.
“Sialan
emang si Aldo. Emang dasarnya aja gak niat ngajak gue.. Ah kampret.. Segala
ujan lagi.. Duh kesialan apalagi yang gue rasain hari ini cuma gara-gara si
Aldo..” omel Aquilla ditengah gerimis yang lumayan mulai deras turun. Dirinya
memang dari dulu tidak pernah menyukai hujan. Baginya hujan hanyalah
penghalang. Hujan juga kebanyakan membawa aura kesedihan, beberapa kalimat itu
yang ia jawab ketika ada yang menanyainya mengapa ia begitu membenci hujan.
Sementara
itu, tak jauh dari tempat Aquilla berjalan, sosok pria itu tampak memarkirkan
motornya. Tanpa Aquilla sadari, sosok pria itu berjalan cepat menghampirinya.
to be continued~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar