Minggu, 23 Desember 2012

Kesempatan - Part 1

     Kakinya masih saja digoyang-goyangkan ke depan dan ke belakang. Lapangan basket, taman, dan beberapa helai daun yang mulai berserakan akibat datangnya musim kemarau tahun ini, menjadi satu-satunya saksi atas kegelisahan yang dirasakan gadis manis itu. Beberapa bulir keringat yang membasahi keningnya tanda kegelisahannya pun konsisten deras menurun. Sembari menggenggam secarik kertas yang terlihat lusuh tanda dimakan waktu, atau mungkin karena terlalu sering dibaca pemiliknya, gadis itu sesekali melihat jam yang terpajang cantik dipergelangan tangan kirinya.
~~
     “Ilaaaaaa!!!” teriak seorang ibu muda yang lari tergopoh-gopoh menghampiri gadis mungilnya yang terlihat nangis tersedu-sedu akibat darah segar yang mengalir dari lutut kirinya.
     “Ini kakinya kenapa?” tanya ibu itu panik.
     “Jatoh mah.. Hu.. hu.. hu..” jawab gadis mungil yang ternyata bernama Aquilla itu sembari terisak.
     “Emangnya tadi Ila abis ngapain kok bisa jatuh?”
     “Tadi Ila mau mainan ayunan, tapi Aldonya gak mau gantian. Ila mau ngerebut ayunannya, tapi gak bisa, malah jatoh.” jawab gadis kecil itu sambil menatap sinis bocah laki-laki yang sedang asik berayun di taman cluster perumahannya. Bocah yang ditatapnya pun hanya tertawa senang atas rasa kemenangan kecil yang didapatkannya.
     “Yasudah, lain kali Ila bisa minta baik-baik tanpa harus berebut kan? Sekarang akibatnya malah kaki Ila kan yang luka. Yuk pulang aja, biar mamah obatin di rumah lukanya.” ucap ibu muda itu seraya menggandeng tangan putrinya itu.
~~
     “La, nanti proposalnya lo aja ya yang ngasih ke Aldo. Gue udah dijemput nih.” ucap gadis yang berkuncir kuda itu.
     “Loh, kok gue sih yang ngasih, kan itu tugas elo Rin. Ogah ah. Males gue kalo harus ngomong berdua sama dia, lo kaya gak tau gue aja sih.” Jawab gadis berambut panjang hitam dengan poni pagar menghiasi.
     “Lo gak boleh gitu dong La, mau gimana gak akurnya lo sama Aldo juga kan lo tetep harus profesional. Sekarang kan posisinya lo itu wakil nya dia, gue juga gak salah kalo nyerahin proposal ini ke lo.” Timpal gadis yang ternyata bernama Khairina itu.
     “Gak mau ah. Lo tau kan Aldo kalo lagi main basket itu lama. Lagian lo mau kemana sih?”
     “Profesional dong La. Gimana OSIS kita mau maju kalo kepentingan ketua sama wakilnya aja masih suka dibawa-bawa ke forum. Lagian lo juga biasanya pulangnya kalo sekolahan udah sepi. Gue mau nganterin bokap gue ke bandara. Bokap gue mau ke Hongkong buat 3 bulan ini. Masa gue gak ikut nganter. Udah ya, supir gue udah nungguin di depan. Gue balik ya La. Titip proposal, oke? Bye!” pamit gadis yang dipanggil Irin itu menyudahi perdebatan yang terjadi diantara dirinya dan Aquilla di ruang OSIS siang itu.
Yang ditinggal pergi pun hanya mampu bersungut-sungut dan menghempaskan tubuhnya ke kursi tempat ia bekerja menjabat sebagai wakil ketua OSIS di sekolahnya. Tumpukan tebal kertas yang biasa ia bawa kemana-mana yang kadang berfungsi menghilangkan penatnya pun, tak cukup efektif untuk mengusir kegusarannya sore itu,


puisi-puisi yang biasa ia buat tak cukup mampu mengusir emosinya. Padahal ia hanya diamanatkan untuk menyerahkan sebuah proposal acara Pentas Seni yang akan diadakan untuk acara perpisahan di sekolahnya nanti kepada ketua OSIS nya sendiri, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aldo, seseorang yang juga menjabat sebagai ketua tim basket putra sekolahnya, dan notabene yang telah menjadi musuhnya sejak dulu. Entah apa alasan yang tepat yang mengakibatkan keduanya bermusuhan, atau yang lebih tepatnya hanya Aquilla seorang diri yang menaruh benci pada Aldo. Ia pun kadang tak mampu untuk memiliki cukup alasan ketika ditanya mengapa dirinya begitu membenci pria kebanggaan sekolahannya itu. Namun, tiap mendengar seseorang menyebut nama pria itu, atau bertemu dengan pria itu, ingatannya tenggelam ke masa 12 tahun yang lalu. Ketika seorang gadis mungil berusia 5 tahun tengah berusaha merebut ayunan yang sedang digunakan bocah laki-laki yang bernama Aldo itu. Entah apalagi selain kejadian antara mereka berdua dimasa lalu yang menjadi sebab kebenciannya kepada Aldo. Membuatnya harus memikirkan kejadian itu justru tambah merusak mood gadis itu. Sekarang, yang ia lakukan hanya membaca novel teenlit yang baru saja dibelinya weekend lalu. Kadang, apabila hobi menulisnya tak cukup mampu untuk mengusir penatnya, ia hanya menghabiskan waktunya untuk membaca novel sampai tak terasa penatnya hilang dengan sendirinya.
Cukup lama Aquilla menghabiskan waktu nya membaca novel hanya untuk menunggu sang ketua OSIS, sampai tak ia sadari, ia tengah ketiduran dengan novel yang masih berada digenggamannya. Hari itu sudah cukup sore, sampai yang dinantinya pun akhirnya datang setelah cukup lama menghabiskan hobinya di lapangan basket. Mengetahui bahwa dirinya sedang dinanti oleh gadis manis itu, ia hanya mampu menunggu sembari sedikit berusaha membangunkan gadis manis yang sedang tertidur pulas itu. Nampak raut letih dari wajahnya sekalipun ia tengah tertidur, sehingga membuat pria itu tak cukup tega untuk membangunkannya, dan ia pilih untuk menunggu hingga gadis itu terbangun dengan sendirinya. Cukup lama hingga akhirnya gadis itu terjaga.
“Lo dari kapan disini?” tanya Aquilla dengan tatapan tak bersahabat.
“Udah bangun La?” yang ditanya justru malah balik mengajukan pertanyaan.
“Heh gue nanya, lo dari kapan disini? Kok malah lo yang balik nanya sih.”
“Udah lumayan lama buat nungguin lo bangun doang.”
“Kok lo gak ngebangunin gue? Jangan-jangan lo macem-macem sama gue ya waktu gue tidur, ngaku lo!”
“Abis main basket tadi gue langsung kesini, pas gue kesini gue ngeliat lo udah tidur, gue udah coba bangunin, tapi kayanya lo capek banget sampe susah dibangunin. Yaudah gue biarin aja sampe lo bangun sendiri. Udah untung gak gue tinggal balik.”
“Oh.. Yaudah. Awas lo kalo berani macem-macem sama gue! Yaudah nih, gue cuma mau ngasih titipannya Irin buat elo. Gue balik deh. Bye!”
“Eh, tunggu.. Apaan emang ini?”
“Lo gak bisa baca emang? Itu kan ada tulisannya disitu. PROPOSAL. Udah ah gue balik. Udah sore juga. Bye!” Ucap ketus Aquilla mengakhiri percakapan tak mengenakan di ruang OSIS sore itu. Yang ditinggal pergi pun hanya mampu tersenyum dan menggeleng-geleng serta membathin, “Masih aja ketus sama gue dari dulu, Ila Ila.. Gak sadar kali ya kalo gak ketus dia jauh keliatan manis.. Ckckck..”
Sementara itu, gadis yang tengah terburu-buru meninggalkan ruangan OSIS itu hanya mampu berkonsentrasi pada tujuan berikutnya, gerbang sekolahnya. Karena, kalau sudah sore begini, angkutan umum kearah rumahnya mulai jarang, justru hampir tidak ada. Dengan penuh gerutu, Aquilla hanya mampu pasrah menatap jalan raya yang mulai terlihat agak sepi itu karena hari pun sudah mulai memasuki petang, ditambah dengan cuaca yang tambah gelap karena awan mendung menyelimuti. Tampak raut wajahnya yang semakin khawatir karena dia hampir sempenuhnya yakin, kemungkinannya sangat kecil untuk menemukan angkutan umum yang memiliki rute ke arah rumahnya masih beroperasi jam segini. Dengan terpaksa, ia mulai melangkahkan kakinya menuju rumahnya daripada hari mulai larut. Rumahnya memang tidak terlalu jauh dari sekolahnya, namun kalau dipakai dengan jalan kaki, sangat cukup membuat kaki penggunanya pegal-pegal hingga keesokan harinya.
“Sial kan! Kalo bukan gara-gara Aldo, harusnya gue gak jalan kaki gini. Segala mendung lagi ini langit. Kurang sial apalagi sih gue hari ini. Semuanya gara-gara Aldo!” Aquilla hanya mampu bersungut-sungut atas peristiwa yang agak kurang mengenakan sore itu. Padahal salahnya juga yang sempat-sempatnya tertidur pulas di ruang OSIS tadi. Tidak lama kemudian, seseorang yang sedang dimakinya tadi ternyata perlahan menepikan motor yang dibawanya mendekati gadis berponi pagar itu.
“La.. Kok lo jalan kaki?” tanya laki-laki itu seraya memelankan motor yang dibawanya.
“Mau ngapain lo nanya-nanya? Halah bilang aja mau ngejek gue kan.. Udah sana.. Pulang aja deh lo. Males gue ngeliat lo. Lagian urusan kita di ruang OSIS juga udah selesai kan.” Gadis yang ditanyai itu justru malah mengomel ketika ditanyai.
“Gue nanya kan baik-baik La, gak ada niat ngejek elo kok. Lo nya aja yang nanggepin gue negatif mulu.”
“Gue pulang jalan kaki gini juga gara-gara elo. Gara-gara nungguin lo kelar main basket. Gara-gara kesorean, sekarang keabisan angkutan kan gue. Wajar lah kalo gue negatif  sama lo.”
“Yaudah balik sama gue aja sini, udah mendung juga kan, nanti lo kemaleman lagi. Lagian rumah kita kan deketan.”
“Gak usah sok baik deh lo, gak perlu lagian. Gue bisa jalan sendiri.” saut Aquilla angkuh.
“Yakin? Bener nih bisa sendiri? Gapapa gue tinggal? Udah mau maghrib loh, mendung juga..” timpal Aldo agak sedikit menggodanya.
“Brisik lo! Udah pergi aja sono.. Hush hush..” usir Aquilla dengan ketusnya.
Yang diusir pun hanya mampu pergi meninggalkan Aquilla sembari menahan tawa melihat sikap ketus Aquilla yang dipandangnya justru lucu.
“Yaudah, gue balik deh.. Lo hati-hati ya La.. Bye Ilaa..”
Gadis yang ditinggal pergi pun hanya mampu bersungut-sungut kecil karena menganggap niat Aldo hanya sekedar untuk mengejeknya. Karena menurutnya, kalau Aldo memang berniat mengajaknya, seharusnya dia tetap berada disini sekarang. Padahal kepergian Aldo untuk meninggalkannya pun dia yang meminta. Rasa kesalnya semakin bertambah ketika dia sadari beberapa tetes air hujan mulai turun membasahi rambutnya.
“Sialan emang si Aldo. Emang dasarnya aja gak niat ngajak gue.. Ah kampret.. Segala ujan lagi.. Duh kesialan apalagi yang gue rasain hari ini cuma gara-gara si Aldo..” omel Aquilla ditengah gerimis yang lumayan mulai deras turun. Dirinya memang dari dulu tidak pernah menyukai hujan. Baginya hujan hanyalah penghalang. Hujan juga kebanyakan membawa aura kesedihan, beberapa kalimat itu yang ia jawab ketika ada yang menanyainya mengapa ia begitu membenci hujan.
       Sementara itu, tak jauh dari tempat Aquilla berjalan, sosok pria itu tampak memarkirkan motornya. Tanpa Aquilla sadari, sosok pria itu berjalan cepat menghampirinya.

to be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar