Jumat, 18 Januari 2013

Kesempatan - Part 3

Kejadian itu begitu cepat, yang Aquilla ingat hanyalah kepala nya cukup bertambah pening ketika bola basket itu melambung ke arahnya, selanjutnya yang ia tatap beberapa temannya berlari menghampirinya dan gelap.
Beberapa panitia terlihat khawatir dengan kejadian itu, melihat Aquilla pagi ini yang terlihat agak kurang bersemangat saja sudah membuat mereka heran, ditambah dengan kejadian barusan, sontak membuat Khairina panik melihat sahabatnya itu tiba-tiba terjatuh hanya karena bola basket saja.
“La.. Lo kenapa?” ujar Khairina panik sambil mengguncangkan tubuh Aquilla. Sementara yang ditanya tetap tidak menjawab. Beberapa panitia lain mulai berdatangan, termasuk Aldo salah satunya.
“La, lo gapapa kan? Jangan pingsan dong La.. Badan lo kan gede.” rentet Aldo dengan paniknya. Sepertinya suara Aldo cukup menaikan emosi Aquilla sehingga ia mampu untuk membalas pertanyaan Aldo dengan gaya ketusnya.
“Gue gapapa kok. Jatoh doang ini, gak pingsan juga lah, lagian cuma bola basket doang, lagi lumayan pusing aja gue kebetulan. Udah-udah, gue gak apa-apa kok.” Jawab Aquilla mengakhiri ketegangan yang ada dan bangun dari posisi terjatuhnya tadi.
“Beneran lo gapapa la?” tanya Khairina berusaha meyakinkan.
“Gue gapapa kok, udah lo semua balik ke posisi masing-masing aja.” Jawab Aquilla sembari mengangkat berdiri tubuhnya.
“Beneran kan gapapa? Gue tinggal gapapa kan La, lagi ada problem sama papan score otomatisnya nih.” pamit Khairina ketika sudah ia yakini bahwa sahabatnya memang tidak dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Beberapa panitia satu persatu meninggalkan Aquilla kembali ke posisinya masing-masing, karena pertandingan memang sedang berjalan, panitia harus segera kembali agar pertandingan tetap berjalan lancar. Namun, ada satu panitia yang terlihat masih begitu enggan untuk meninggalkan Aquilla seorang diri, Aldo. Raut wajahnya masih sangat terlihat khawatir karena insiden itu. Memang terlihat biasa, namun bagi seorang Aquilla yang selalu nampak periang dan ceria, keadaan itu cukup membuat Aldo khawatir.
“Lo ngapain masih disini?” tanya Aquilla sedikit sewot.
“Lo beneran gapapa La? Kok tumben-tumbenan lo begini?” tanya Aldo sedikit panik.
“Gue gapapa kok, bukan urusan lo juga kan.”
“Gue khawatir! Lo ngerti dong harusnya.”
“Bukan kewajiban lo juga kan buat khawatirin gue.”
“Emang bukan kewajiban gue, tapi gue peduli!”
“Terserah deh..” jawab Aquilla malas seraya pergi meninggalkan Aldo.
“Eh, lo mau kemana La? Jangan cape-cape dulu deh, masih bisa dihandle Irin kan..”
“Ngerti kok, lagian juga gue bukan anak kecil kali. Gue mau ke UKS, istirahat bentar.”
“Gue ikut.”
“Mau ngapain sih? Ganggu aja.”
“Lo ngerti kan khawatir itu artinya apa?”
“Terserah lah..” Sahut Aquilla acuh tak acuh menanggapi sikap Aldo yang sangat tidak biasa menurut dirinya. Ia lebih memilih diam dan tidak banyak tanya, sekalipun setelah mereka tiba di ruang UKS hanya mereka berdua saja yang mengisi ruangan itu. Alhasil hanya kesunyian yang didapati keduanya.
Cukup lama keduanya saling terdiam di ruang yang lumayan besar dan diisi dengan dua ranjang yang biasanya dipakai istirahat siswa-siswi apabila ada yang sakit. Sampai Aquilla merasa dirinya sudah cukup kembali fit untuk melanjutkan tugasnya kembali, ia memutuskan untuk meninggalkan ruangan tersebut.
“Eh La, lo mau kemana?” tanya Aldo begitu ia melihat gadis itu mulai beranjak pergi meninggalkan ruang UKS.
“Mau lanjut ngurusin pertandingan lah. Emang mau ngapain lagi?” sahut Aquilla agak sedikit ketus.
“Oh.. Udah enakan ya sekarang?”
“Menurut lo?”
“Oh.. Oke deh. Gue juga mau lanjut ngurusin pertandingan. Pulang nanti lo bareng gue ya La. Gak pake nolak pokoknya. Gue tunggu di gerbang sekolah nanti. Bye.” rentet Aldo sembari meninggalkan Aquilla yang tampak heran dengan sikapnya barusan.
“Anehkan itu orang. Ngajak pulang bareng seenaknya sendiri, sekarang ninggalin gue juga seenaknya sendiri.” gerutu Aquilla tampak sedikit kesal sekaligus heran. Ia memang sama sekali tidak pernah mengerti apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Terkadang ia dapat melihat sorot kekhawatiran yang dipancarkan oleh mata pria itu kepada dirinya, namun sorot kekhawatiran itu cepat sekali berubah seolah-olah tidak peduli dan tidak terjadi apa-apa. Aquilla memang tak pernah terlalu memikirkan hal itu, semua tertutup oleh rasa kebenciannya, namun bukan berarti ia mengabaikan semua tindakan Aldo terhadap dirinya. Dan seperti kejadian yang sebelum-sebelumnya, Aquilla tampak tak begitu peduli untuk memikirkan sikap aneh Aldo barusan.
Tanpa terlalu terasa, pertandingan hari itu telah usai. Hari itu menjadi hari yang lumayan melelahkan bagi pengurus OSIS yang menjadi panitia pertandingan basket. Namun dari raut-raut yang kelelahan itu nampak raut lelah yang bercampur bahagia terpancar dari salah satu anggota panitia tersebut, siapa lagi kalo bukan koordinator acara tersebut, Aquilla. Ia nampak begitu puas dan lega dengan hasil kerja teman-temannya hari ini. Walau memang sempat terjadi beberapa masalah, pertandingan hari itu berjalan sesuai dengan apa yang telah ia rencanakan. Seperti biasanya, sebelum dan sesudah pertandingan, panitia berkumpul kembali untuk sekedar briefing atau untuk rapat evaluasi. Setelah pertandingan hari itu selesai, dan setelah semua perlengkapan dirapihkan, seluruh panitia mengadakan rapat sebentar untuk mengevaluasi kerja yang sudah mereka lakukan hari ini, semua bertujuan untuk memaksimalkan kerja mereka untuk acara selanjutanya. Nampak Aquilla begitu detail memperhatikan komentar teman-teman panitianya.
“Oke, terima kasih banyak atas kerja temen-temen semua. Pertandingan hari ini lancar juga berkat kerja keras temen-temen disini. Walaupun tadi sempet ada beberapa masalah kecil, kita semua hebat bisa mengatasinya dengan cepat. Namun, seperti yang selalu saya ingatkan, jangan pernah puas atas pencapaian kita saat ini, masih banyak rintangan yang akan kita hadapi hari esok, dan jangan lupa, kita masih ada sehari lagi pertandingan untuk final, tetep semangat, dan jaga kesehatan. Berhubung hari sudah lumayan sore, kita akhiri saja rapat hari ini. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, dan maaf untuk segala kekurangan saya. Besok kita kumpul lagi disini seperti tadi pagi ya..” ucap Aquilla mengakhiri rapat evaluasi hari itu. Diiringi dengan acungan jempol dari teman-temannya tanda persutujuannya.
Setelah rapat usai, ia dan beberapa anak lain terlihat membereskan alat tulis dan barang-barang yang dibawanya sebelum mereka pulang. Sekilas Aquilla terlihat memperhatikan beberapa temannya, mencari sosok yang tadi mengajaknya pulang bareng, namun nihil, sosok pria itu tidak nampak disana. “Kemana sih ini orang, tadi katanya ngajakin pulang bareng. Hhh..” bathin Aquilla sembari menghela nafas tanda kegelisahannya. Terlihat kesal, namun ia tidak ambil pusing dengan ajakan pria yang menyebalkan itu, ia lebih memilih segera merapihkan barang bawaannya untuk segera pulang daripada ia harus kehabisan angkutan umum lagi.
Terlihat sedikit terburu-buru langkah kaki Aquilla menuju gerbang sekolahnya sore itu, sampai ketika ia tiba disana untuk menunggu angkutan umum, sebuah mobil bertipe sedan mengahampirinya perlahan. Terlihat seseorang turun dari pintu kemudi dan segara menghampiri Aquilla.
“Ayo La pulang.” Sahut pria yang ternyata Aldo itu.
“Lo ngapain disini?” tanya Aquilla berpura-pura tidak peduli.
“Kan tadi gue ngajak pulang bareng. Udah ayo masuk, udah mulai mendung nih, nanti lo keujanan lagi.” ucap Aldo sambil membuka pintu mobil mempersilahkan Aquilla masuk. Tampaknya perintah Aldo begitu menghipnotis Aquilla, atau Aquilla yang sedang tidak terlalu mood untuk berdebat dengan Aldo, sehingga ia nurut saja ketika Aldo mempersilahkannya memasuki mobil.
Keadaan di mobil Aldo sore itu tidak sesunyi saat mereka di ruang UKS tadi, ketika Aquilla membuka percakapan dengan Aldo di dalam mobil yang mereka naiki.
“Kok tumben lo bawa mobil? Bukannya lo anti bawa mobil ke sekolah ya?” tanya Aquilla.
“Kok lo tau soal itu?” Aldo justru balik tanya.
“Inget aja waktu anak OSIS, terutama gue, maksa lo bawa mobil ke sekolah buat ngangkutin spanduk sama banner waktu acara dies natalis sekolah kita, lo mati-matian nolak cuma dengan alasan lo gak mau dibilang sok gara-gara bawa mobil ke sekolah.”
“Wah.. Hahaha.. Lo inget aja kejadian itu La.”
“Semua hal nyebelin yang berurusan sama lo gue selalu inget.” sahut Aquilla sambil bergumam agar Aldo tidak mendengarnya. Namun, keadaan tidak seperti yang Aquilla inginkan, suasana jalanan sore itu yang cukup lengang mampu membuat Aldo mendengar gumaman Aquilla.
“Segitu bencinya ya lo sama gue La?” timpal Aldo ketika mendengar gumaman Aquilla.
“Eh?” jawab Aquilla agak sedikit terkejut.
“Iya. Elo, segitu bencinya sama gue sampe semua hal menyebalkan tentang gue selalu lo inget. Emang apa sih La salah gue sama lo sampe lo segitunya sama gue. Selalu mandang gue benci, gak pernah bersahabat sekalipun hampir 12 tahun kita sekolah bareng, SD, SMP, SMA, dan terlibat di satu kepengurusan yang sama, gak pernah gue ngeliat sikap lo bersahabat ke gue.” ucap Aldo.
“….” Aquilla tak menjawab apa-apa, ia sibuk memainkan tas yang ada dipangkuannya dan agak sedikit kikuk.
“Kenapa La? Kok gak dijawab? Apa ini semua ada sangkut pautnya sama kejadian itu? Kejadian 12 tahun lalu ayunan di taman itu?” rentet Aldo sangat cepat. Terlihat ada suatu penyesalan yang teramat dalam ketika ia mengatakannya. Entah penyesalan yang seperti apa bentuknya.
“Hmm..” jawab Aquilla tampak sedikit kebingungan mendengar pertanyaan Aldo barusan. Keadaan seperti ini sama sekali tidak pernah terbayang di dalam benaknya. Terjebak berdua dengan laki-laki yang dibencinya dengan keadaan seperti sekarang, dan dalam obrolan seperti sekarang.
“Kalo emang iya itu alesan lo ngebenci gue selama itu, gue minta maaf banget La. Sumpah demi Tuhan seandainya waktu bisa gue puter ulang, gue mau balik ke masa itu, supaya lo gak perlu ngerebut ayunan itu. Supaya lo gak perlu jatoh sampe berdarah. Supaya lo gak benci sama gue sampe sebegininya. 12 tahun La elo menghukum gue kaya gini atas kesalahan gue dulu, yang sama sekali gak pernah gue kira bakal sampe sebegini efeknya, sampe gue ngerasa tersiksa karna sikap-sikap lo ke gue selama ini. Dan satu hal yang nggak lo tau tentang kenapa gue hari ini bawa mobil ke sekolah, alasannya ya karna lo, gue gak mau lo pulang kesorean lagi sampe harus keabisan angkutan umum, trus keujanan dan akhirnya lo nggak fit. Apa lo tau soal itu? Nggak kan? Apa lo tau seberapa khawatirnya gue ngeliat lo jatoh di tengah lapangan kaya tadi? Dan apa lo tau ada perasaan gak nyaman ketika gue ngeliat lo tiba-tiba murung cuma karna hasil nilai ulangan lo jelek? Nggak kan? Lo nggak tau karna kebencian lo sama gue yang ngebuat lo gak mau tau, dan apa lo sadar kalo gue kesiksa dengan keadaan ini?” sambung Aldo dengan seluruh emosinya. Ia tidak mampu menahan diri lagi. Pertahanannya selama ini untuk tidak membahas hal ini kepada Aquilla hanya karena ia takut Aquilla tambah membencinya, runtuh sudah. Ia tak lagi mampu menahan semua yang ada pada gejolak hatinya lebih lama lagi. ‘Mau sampai kapan?’ Kata-kata itu sangat menghantuinya.
Tidak cukup lama keheningan yang tercipta setelah mobil yang mereka naiki sampai di depan gerbang rumah Aquilla.
“Udah sampe, gue turun ya.. By the way, thanks udah mau nebengin gue..” sahut Aquilla yang tak mampu berkata apa-apa lagi sambil membuka pintu mobil.
“La..” panggil Aldo yang membuat tubuh Aquilla terhenti di pintu mobil.
“Ya?”
“Berangkat sekolah besok, sama gue ya.. Sekali lagi, gue minta maaf banget La..” ucap Aldo dengan segala kepasrahannya.
Aquilla tidak menjawab pernyataan Aldo barusan, ia memang menjawabnya tidak dengan menggunakan kata, melainkan, sebuah senyuman diriringi anggukan setelahnya yang menjadi jawaban Aquilla saat itu.
“Yes! Thanks La. Sampe ketemu besok ya.” Sahut Aldo kegirangan ditutup dengan pemandangan Aquilla berjalan memasuki rumahnya.
Malamnya, wajah gadis yang sedang tengkurap di atas ranjang kesayangannya itu tampak dihujani dengan senyuman. Entah perasaan apa yang sedang menghinggapi gadis itu sampai ia merasa sesenang ini. Ditatapnya dengan lembut beberapa album foto semasa kecilnya, tampak wajah-wajah tanpa dosa yang berbalut tawa, canda, dan mimik khas anak kecil yang tidak suka dengan sebuah hal dalam beberapa lembar foto itu.
Sementara itu, di tempat lain, pria yang tengah duduk di kursi meja belajarnya terlihat sangat gembira, sekaligus risau. Ia sibuk mengingat kejadian yang berkahir menyenangkan sore tadi, sekaligus sibuk dengan segala kerisauannya sembari membolak-balikan benda yang ada ditangannya. Sebuah surat dengan kop surat Universitas ternama di Aussie, salah satu kota besar di negara Australia itu.

to be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar