Senin, 02 Desember 2013

Mencecap Luka Sendiri

foto: google



Gerimis belum jenuh sepertinya untuk mengetuk-ngetuk jendela kamarku sejak semalam. Pada akhirnya kupilih untuk menghitung seberapa deras air yang turun, sekadar merenung sudah ada berapa luka yang kupelihara sendiri.


Kamu apa kabar?


Benak itu yang selalu kupilih saat langit kembali berurai air mata. Sulit kupungkiri bahwa tak hanya gerimis yang mulai mengetuk - ngetuk jendela, ingatan tentangmu selalu berusaha untuk mengetuk pintu kenanganku, kemudian membukanya sendiri dengan paksa. Bukan sulit untuk mengikhlaskan, namun jika melupakan kenangan itu semudah menggoreskan pena di atas kertas, puisi tentangmu pasti sudah memenuhi kamarku sekarang. Pada kenyataannya, tak pernah semudah itu kenangan akan mengendap lalu kadaluarsa pada nantinya.


Tak ada yang tau bahwa pertemuan kali itu akan begitu banyak membekaskan kisah tentangmu, terutama di otakku. Sisa kopi yang masih terpajang di atas bibirmu, lalu kamu tertawa sesudahnya, tak pernah menjadi terlalu sederhana untuk dikenang. Ya semua tentangmu memang selalu cepat melekat di sudut terpencil kepalaku, walau bagimu itu tak pernah penting.


Tidak kamu tau kan, saat potongan terakhir kentang goreng yang aku jatuhkan kala itu lalu kamu mentertawaiku dan berkata bahwa aku tak lebih hebat dari seorang bocah, hal itu yang masih membuat rinduku tentangmu masih meluap deras saat kembali kusambangi café itu. Sederhana memang, namun sudah kubilang, bahwa kamu tak pernah terlalu sederhana untuk dikenang.


Kini, rintik gerimis masih saja berjatuhan pelan. Seolah kembali mengizinkanku untuk mengenangmu. Aku rindu. Jika kutemukan lagi kata yang mampu menjelaskan bagaimana rasaku sekarang selain rindu, akan kupilih kata itu. Sebab, makna rindu pun tak cukup bagiku untuk menggambarkan rasaku. Karena bagimu, kata rindu pun tak pernah cukup juga untuk menjadikan alasan sebuah temu.


Padahal ku tau pasti aku melukai diriku sendiri. Dengan rindu yang masih membuncah, dan raga yang masih berharap untuk kembali rebah di pelukmu. Aku masih tetap terluka. Namun seluruh energiku masih mampu menghadirkan sosokmu dalam otakku.


Sekarang, jika merindukanmu dapat membuatku seolah tak ada lagi oksigen di muka bumi, tak akan aku biarkan ragaku menciptakan sebuah temu denganmu kala itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar