Sesekali, dengarkan parkit-parkit kecil bernyanyi di penghujung senja, agar kau tau, seberapa jauh aku membuangnya, kesedihan akan menemukan jalannya sendiri untuk kembali pulang.
Daniel, tempo hari, dalam surat (rinduku) yang kesekian, aku bercerita tentang rindu dan segala ego kita yang berlomba menjadi seorang pemenang.
Padahal yang kita tau, seberapa pun kita mengadu rindu-rindu yang kini berserak tanpa bisa lagi kita kendalikan, pertemuan hanya akan menjadi sisa mimpi semalam; terlupakan.
Sudah berapa lama, Dan? Kita sibuk mengadu rindu, meneriakannya paling lantang, berlomba rindu milik siapa yang akan cepat kembali pada tuannya. Sementara kamu, pun aku, sama-sama melupakan apa yang seharusnya kita jaga; hatiku pun hatimu.
Sudah berapa jauh, kita sama-sama melupakan, tentang kesehatan yang seharusnya kita jaga. Sebab katamu dulu, "Mala, jangan lupa akan kesehatanmu, pun kita. Sebab rindu akan mengikisnya perlahan. Mala, jangan kau abai pada kesehatanmu, sebab waktu, akan membuatnya renta untuk menjadi seorang pesakitan. Mala, jangan kau abstain menjaga kesehatanmu, sebab rinduku, masih membutuhkan hangatnya dekapmu, kelak."
Kapan terakhir kali kita tidak egois, untuk sedikit saja menanyakan kabar masing-masing di antara kita, Dan? Sebab selama ini, rindu membuat kita sama-sama gila. Menagihnya tanpa jeda.
Sudah seberapa panjang, rindu melahirkan anak-anak ego, yang berserak mungil di tepian hati kita, di sudut-sudut mata kita, dan di setiap ruang pikiran kita. Sebab seberapa keras kita berjuang dan menagihnya lantang, hanya kekeras kepalaanmu, pun aku yg selama ini kita coba menangkan.
Bagaimana, Dan?